Asia Kuasai 60% Produksi Nanomaterial Dunia: Dampaknya bagi Ekonomi Global
- Muhammad Rayhan Aulia Akbar

- 5 hari yang lalu
- 3 menit membaca
Dalam satu dekade terakhir, negara negara Asia Timur seperti Cina, Jepang, dan Korea tampil sebagai pusat kekuatan baru dalam riset dan produksi nanomaterial. Laporan pasar, data publikasi ilmiah, serta pendaftaran paten menunjukkan lonjakan yang konsisten, menjadikan kawasan ini sebagai aktor paling dominan dalam industri material maju global.

Latar Belakang: Nanomaterial Menjadi Fondasi Teknologi Modern
Nanomaterial merupakan material dengan skala struktur di rentang 1–100 nm menjadi bahan dasar berbagai teknologi strategis, mulai dari elektronik, perangkat energi, baterai kendaraan listrik, katalis, hingga farmasi.
Menurut laporan Kings Research, nilai pasar global nanomaterial diperkirakan meningkat dari USD 13,84 miliar (2024) menjadi USD 33,47 miliar pada 2031, dengan pertumbuhan tahunan 13,45%. Namun, lebih penting daripada ukuran pasar adalah siapa yang menguasai inovasi dan produksinya.
Berbagai analisis menunjukkan bahwa negara-negara Asia Timur memiliki porsi terbesar dalam inovasi nanomaterial dunia. Analisis scientometrik oleh CORDIS mencatat bahwa kawasan Asia (Cina, Korea, Jepang, Taiwan, India, Singapura) menyumbang sekitar 41% publikasi nanoteknologi dunia melampaui Amerika Serikat (~25%) dan Eropa (~30%). Data paten menunjukkan dominasi yang bahkan lebih besar dimana Cina menguasai lebih dari 464.000 paten, atau sekitar 43% dari total dunia (Xinhua News, 2025). OECD sebelumnya telah mencatat bahwa Korea dan Cina memiliki pangsa paten nanomaterial yang sangat tinggi dibandingkan negara lain. Meski Jepang adalah salah satu pionir nanoteknologi dunia, laporan “Nanotech Cluster and Industry Landscape in Japan” menunjukkan bahwa Cina dan Korea kini melampaui Jepang di banyak bidang riset dan industri material modern.
Mengapa Cina, Jepang, dan Korea Mendominasi?
Cina memasukkan nanoteknologi dalam prioritas strategis nasional dan mendirikan lembaga riset besar seperti National Center for Nanoscience and Technology. Jepang dan Korea juga menerapkan kebijakan serupa, memfokuskan investasi pada riset dasar dan industrialisasi.
Ketiga negara ini memiliki ekosistem industri yang memungkinkan hasil riset segera ditransformasikan ke produk komersial. Rantai pasok bahan maju di kawasan ini juga termasuk yang paling mapan di dunia.
Cina secara sistematis mendorong pematenan hasil penelitian, menghasilkan akumulasi portofolio HKI terbesar di dunia untuk nanoteknologi.
OECD mencatat bahwa publikasi ilmiah Asia, terutama Cina tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan negara-negara Barat, menunjukkan terjadinya pergeseran pusat inovasi menuju Timur.
Implikasi Ekonomi Global: Dampak yang Mulai Terlihat
Dominasi Asia Timur bukan hanya fenomena akademik namun juga membawa dampak besar pada struktur ekonomi dunia.
Dengan meningkatnya produksi nanomaterial di Asia, negara lain berpotensi mengalami ketergantungan impor bahan maju. Hal ini bisa memindahkan pusat gravitasi industri teknologi tinggi ke Asia Timur.
Nanomaterial merupakan komponen penting untuk: baterai dan kendaraan listrik, semikonduktor, panel surya, obat dan alat medis, katalis industri. Dominasi produksi memberi Cina, Jepang, dan Korea keunggulan biaya dan teknologi, sekaligus memperkuat daya saing perusahaan domestik.
Sehingga Negara Barat dan emerging economies kemungkinan harus meningkatkan impor material dari Asia, mengalihkan produksi ke sektor downstream (pengolahan lanjutan), atau menambah investasi riset untuk menutup ketertinggalan.
Negara yang belum memiliki industri nanomaterial besar termasuk Indonesia yang masih dapat mengambil posisi sebagai fast follower dengan memanfaatkan: lisensi teknologi, kolaborasi riset, investasi downstream, dan adopsi nanomaterial untuk industri lokal.
Dominasi Cina, Jepang, dan Korea dalam produksi nanomaterial tidak hanya berdampak pada ekonomi global, tetapi juga memiliki relevansi strategis terhadap berbagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Beberapa pencapaian dan aplikasi nanoteknologi yang dikembangkan di Asia Timur secara langsung mendukung agenda pembangunan berkelanjutan dunia. Pada SDG 7: Energi Bersih dan Terjangkau, inovasi baterai berbasis nanomaterial mulai dari nano-silicon, nano-lithium, hingga material solid-state berpotensi meningkatkan kapasitas penyimpanan energi dan mempercepat adopsi kendaraan listrik. Perusahaan di Cina dan Korea menjadi pusat riset baterai nano yang kemudian memasok teknologi global untuk transisi energi.
Bagi institusi, peneliti, maupun mitra industri yang ingin memperkuat riset dan kolaborasi di bidang nanomaterial, teknologi manufaktur maju, maupun inovasi material strategis lainnya, informasi mengenai program, fasilitas riset, serta peluang kerja sama dapat ditemukan melalui laman FiNder U-CoE di finder.ac.id. Melalui pusat unggulan ini, berbagai inisiatif riset, pengembangan teknologi, dan hilirisasi material maju dirancang untuk menghubungkan temuan ilmiah dengan kebutuhan industri, sekaligus mendorong kesiapan Indonesia dalam menghadapi persaingan global di era teknologi berbasis nanomaterial.
Sumber
Artikel ini disusun berdasarkan laporan Nanomaterials Market Report 2024–2031 dari Kings Research (2024) dan analisis scientometric dari European Commission, CORDIS yang membahas perkembangan riset nanoteknologi di Eropa. Informasi tambahan mengenai posisi Cina sebagai pemegang paten nanoteknologi terbesar di dunia diperoleh dari laporan Xinhua News Agency (Agustus 2025). Kajian mengenai indikator riset nanoteknologi secara global merujuk pada publikasi OECD berjudul Nanotechnology: An Overview Based on Indicators and Statistics (2009). Artikel ini juga menggunakan referensi dari EU–Japan Centre for Industrial Cooperation mengenai Nanotech Cluster and Industry Landscape in Japan (2014), serta panduan ilmiah dari Royal Society of Chemistry (RSC) tentang aspek lingkungan dan toksikologi dalam penelitian nanomaterial (2024).




Komentar