Finder Dorong Kolaborasi Triple Helix untuk Inovasi Nano-Powder di Kesehatan, Kemasan Ramah Lingkungan, dan Pertanian
- Ulfa Fauziah, M.Si.

- 15 Agu
- 3 menit membaca
Diperbarui: 20 Agu
Jatinangor, 2025 - Finder, pusat unggulan riset nanoteknologi Indonesia, dalam rangkaian Joint Conference 2025 memimpin forum diskusi strategis bertajuk “Powder-Based Innovation for Nanomedicine, Green Packaging and Agriculture Applications” dengan topik “Bridging Traditional Knowledge and Nano-Powder Technologies for National & Global Market Readiness.” Forum ini dimoderatori oleh Lia Faridah, dr., M.Si., Ph.D., dari Departemen Ilmu Biomedis Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran sekaligus Head of HSE Business Unit di Finder Unpad. Kegiatan ini menjadi momentum penting untuk mempercepat adopsi inovasi nano-powder ke pasar nasional dan global melalui sinergi industri, pemerintah, dan akademisi.
Diskusi menegaskan pentingnya kolaborasi triple helix sebagai kunci mengatasi tantangan inovasi. Kesehatan, kemasan ramah lingkungan, dan pertanian menjadi fokus utama dalam forum ini. Ketua Society of Nanotechnology of Indonesia, Prof. Dr. Heru Setyawan, M.Eng, menekankan, “Industri membutuhkan dukungan riset dari akademisi, dan kita harus memastikan kerja sama ini berjalan secara berkelanjutan.” Ia juga menambahkan bahwa bukti konsep beberapa inovasi sudah mencapai tahap produksi industri, tetapi penguatan sinergi lintas sektor tetap diperlukan.

Dari sisi kebijakan, Dwi Herteddy dari perwakilan Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian Sekretariat Jenderal, Kementerian Pertanian mengakui belum adanya standar nasional (SNI) khusus untuk nanoteknologi di sektor pertanian. Meskipun terdapat dorongan dari kementerian terkait, pengembangan teknologi di sektor ini memerlukan struktur regulasi yang lebih jelas. Di sektor kesehatan, menurut Fitria Rachmawati sebagai Ketua Tim Kerja Pengembangan Industri Farmasi, Kosmetik, dan Obat Tradisional dari DIRJEN IKHF, regulasi yang ada masih terbatas pada aturan BPOM. Ia menegaskan bahwa dibutuhkan mekanisme penghubung antara riset dan industri untuk mempercepat transisi dari pilot project ke produksi massal, mengingat standar yang berbeda-beda di setiap sektor menjadi hambatan besar.
Pelaku industri turut memberikan pandangan lapangan. Randy Budi Wicaksono, CEO Ravelware yang mengembangkan teknologi graphene, mengungkapkan kesulitan memperoleh instrumen karakterisasi akibat proses impor yang memakan waktu hingga dua bulan. Hambatan ini berdampak langsung pada kecepatan pengujian dan memperlambat inovasi di tingkat menengah (mid-level TRL).
Sementara itu, Willy D. Liusan, produsen kemasan ramah lingkungan (biopackaging) dari PT. Alam Bali Mandiri, menyampaikan, “Teknologi kami sudah siap, tapi tanpa dukungan insentif dan strategi harga yang tepat, pasar akan sulit terbuka lebar.” Ia menyoroti sensitivitas harga konsumen dan minimnya insentif adopsi sebagai penghalang penetrasi pasar, serta mendorong adanya kebijakan insentif, pengadaan hijau, dan kemitraan B2B untuk memperluas adopsi.
Menutup diskusi, Prof. I Made Joni, Ketua Finder, menegaskan pentingnya koordinasi lintas sektor untuk mempercepat kesiapan pasar. “Kita perlu forum regulasi yang fokus mengintegrasikan kesehatan, kemasan, dan pertanian, agar jalur inovasi ke pasar lebih terstruktur dan efektif,” ujarnya. Usulan ini mendapat dukungan peserta forum, yang melihatnya sebagai langkah strategis untuk memperkuat ekosistem inovasi nasional.
Forum ini menghasilkan sejumlah usulan strategis, termasuk percepatan izin impor untuk peralatan riset dan produksi, penerapan strategi harga bertingkat bagi pasar B2B di sektor F&B, FMCG, dan ritel modern, serta pembentukan forum regulasi khusus yang mengintegrasikan kebutuhan sektor kesehatan, kemasan, dan pertanian. Forum tersebut diharapkan menjadi wadah koordinasi lintas sektor untuk menyelaraskan jalur inovasi hingga siap masuk pasar.

Hasil forum melahirkan rekomendasi konkret seperti usulan konsorsium teknologi powder-to-energy, harmonisasi standar nasional nanoteknologi, serta pemetaan kebutuhan kompetensi nasional untuk mendukung hilirisasi industri strategis.
Kesimpulan forum menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi besar di bidang inovasi nano-powder, namun memerlukan dukungan struktural, kebijakan pro-inovasi, dan infrastruktur riset-produksi yang setara dengan negara maju. Sinergi lintas sektor harus dibangun sebelum strategi pemasaran dijalankan agar inovasi dapat diatur, didukung, dan dikembangkan secara sistematis di pasar domestik maupun global.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang riset, inovasi, dan peluang kolaborasi teknologi nano di Indonesia, kunjungi www.finder.ac.id dan bergabunglah bersama Finder dalam membangun ekosistem inovasi yang memajukan kesehatan, lingkungan, dan pertanian.




👍
mantap
👍
👍
👍